Karakter dari Keris Pusaka Sepuh

Nama yang digunakan untuk keris berbeda-beda di setiap daerah seperti sundang di Mindanao, kerut di Bali dan kareh di Sumatera. Kata keris konon berasal dari bahasa jawa kuno yaitu rona nakal yang berarti ikat pinggang. Hal ini mengacu pada sosok ikat pinggang di kepala keris pada tahap awal. Keris digunakan untuk pertahanan diri dan sebagai alat kerajaan. Keris sering patah dalam pertempuran dan membutuhkan perbaikan. Lokasi seorang prajurit menentukan bahan perbaikan apa yang dia miliki. Keris dengan kelengkapannya yang berasal dari berbagai daerah sudah menjadi hal yang lumrah. Misalnya, keris mungkin memiliki bilah dari Jawa, gagang dari Bali, dan sarung dari Madura.Budaya ini juga merupakan lambang kedaulatan orang Melayu. Keris yang paling terkenal adalah keris Taming Sari yang merupakan budaya dari Hang Tuah, seorang pendekar melayu yang terkenal. Keris berasal dari kerajaan Sriwijaya Kepulauan Jawa dan deskripsi keris ditemukan di Candi Borobudur. Keris kuno digunakan antara abad ke-10 dan ke-11. 
Dalam pertempuran, seorang pendekar membawa tiga keris: miliknya, satu dari mertuanya, dan satu sebagai pusaka keluarga. Keris lain yang dibawa berfungsi sebagai penangkis keris. Jika prajurit itu tidak memiliki keris lain untuk ditangkis, dia menggunakan sarungnya. Budaya ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu mata, kepala dan sarung. Keris (diucapkan "krees") adalah yang ditemukan di seluruh Asia Tenggara. Hal ini diyakini oleh sebagian besar sarjana dan ahli berasal dari Jawa pada abad ke-14 M, namun hal ini masih diperdebatkan dan asal-usulnya masih belum pasti. Sebuah legenda lisan yang terkenal menghubungkan asal-usul keris dengan pahlawan budaya mitos yang dikenal sebagai Pangeran Panji. Panji dikatakan telah hidup pada tahun 920 M. 
Dia adalah karakter utama dari banyak cerita yang menceritakan petualangan dan romannya. Keris hadir dalam berbagai bentuk dan corak, namun ciri khasnya adalah pangkal bilah yang disebut ganja, di mana bilah melebar membentuk pelindung runcing. Ciri ini membedakan keris dari jenis budaya bermata lainnya. Keris itu bukan keris biasa. Meskipun secara historis digunakan sebagai budaya, itu selalu menjadi bagian rumit dari budaya Indonesia di mana ia memainkan peran praktis, sosial, dan mistis. 
Tukang keris disebut Empu, istilah kehormatan yang berarti "tuan/tuan". Seseorang yang men jual keris pusaka sepuh terjangkau juga akan hanya dapat memperoleh gelar ini dengan keterampilan, kedalaman spiritual, dan pengetahuan tentang ritual yang tepat yang diperlukan untuk membuat keris. Membuat keris keramat dalam proses yang tidak sederhana dan cepat. Pertama, Empu harus memilih hari yang baik untuk memulai. Dia kemudian harus makan hanya nasi putih dan minum air putih saja selama dua sampai tiga bulan sebelum memulai. . 
Seseorang yang menginginkan keris mendiskusikan keinginannya dengan seorang Empu. Memilih keris bukanlah keputusan yang ringan. Seseorang harus memilih keris yang sesuai dengan status dan kedudukan sosialnya. Sebuah keris dengan emas pada gagang atau sarungnya, misalnya, secara tradisional disediakan untuk royalti, karena emas dianggap sebagai hadiah dari Tuhan. Jika seseorang memilih keris yang tidak sesuai dengan statusnya, dapat merugikan dirinya dan orang lain. Begitu erat hubungannya dengan pemiliknya sehingga seorang pria dan kerisnya dianggap satu dan sama. Jika seorang laki-laki tidak dapat hadir pada upacara pernikahannya sendiri, kerisnya dapat mewakili dirinya. Bagian utama keris adalah bilah, sarung, dan gagangnya. 
Setiap bagian membantu mencirikan keris dalam hal asal usul, zaman, pemilik, dan simbolisme. Bilah adalah bagian yang paling berharga, karena memegang kekuatan suci keris. Ada dua unsur utama bilah: pamor (desain damascene pada bilah) dan dapur (bentuk bilah). Kombinasi logam digunakan dalam pembuatan keris. Tukang keris membuat campuran yang berbeda dari besi, baja, nikel dan kadang-kadang meteorit. Orang Jawa menganggap keris yang terbuat dari meteorit sangat kuat. Meteorit tersebut didapat dari meteor yang jatuh di Prambanan, Jawa Tengah, pada tahun 1729.