Budaya dalam Menggunakan Keris

Namun, selama masa damai, nilai budaya tradisional berangsur-angsur berubah dan sekarang bukan hanya sebagai alat untuk membunuh; itu menjadi objek spiritual yang mendefinisikan pengguna dan budaya mereka. Jual aneka keris pusaka sebagai hasil budaya Indonesia yang ada di Nusantara lahir sejak nenek moyang ini mengalami perubahan budaya dari budaya agraris ke budaya metalurgi yang bersinergi dengan perilaku manusia. Sebagai artefak yang berharga, keris memiliki nilai filosofi pribadi bagi pemakainya, dimana keris pusaka mengandung unsur gengsi hasil dari proses tempa yang cukup rumit. Jika peradaban modern maka keris menghilang dari perilaku budaya bangsa karena proses hegemoni budaya di luar dan mengikis nilai budaya lokal. 
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk menganalisis fungsi ikon keris dalam simbol atau merek secara hermeunitik dan memaknainya secara semiotik. Agar keris saat ini dimaknai sebagai elemen visual simbolik, maka bentuk keris yang melengkung dan keris lurus menjadi elemen estetika logo atau simbol di dalamnya. Dari beberapa lambang atau logo yang menunjukkan nilai-nilai positif memiliki filosofi semangat dan persatuan yang kuat dalam lambang provinsi dan kabupaten di Indonesia. Demikian pula ada korps tentara nasional seperti korps Marinir, simbol dalam dunia olahraga seperti pencak silat dan ada di logo perguruan tinggi. 
Namun ada hal lain sebagai elemen simbol yang bernilai identitas ekonomi, seperti pada merek Batik Keris, dan juga pada merek lain dalam ranah postmodernisme mengandung unsur modal. Dalam cerita ual pusaka keris dan tombak Ketoprak dan pewayangan, keris tampil sebagai senjata yang cukup kuat dan sakti. Para pahlawan juga menggunakan keris sebagai ikon yang mengandung ketangguhan dan semangat perjuangan melawan penjajah seperti Pangeran Diponegoro yang menunggang kuda, dan Sultan Hasanudin yang memakainya diselipkan di depan tubuhnya. 
Keberadaan keris sebagai lambang laki-laki merupakan hal yang perlu dicermati saat ini dimana nilai modernitas budaya berbusana berpengaruh pada pakaian adat khususnya Jawa. Keris kini hanya sebagai pelengkap pakaian Kejawen. Dijelaskan bahwa pada zaman dahulu sebelum penjajah masuk ke Jawa, keris kabarnya digunakan sebagai pelengkap pakaian sehari-hari pria karena menunjukkan nilai kejantanan. Tak terkecuali dari anak kecil hingga orang dewasa memakainya. 
Ketika laki-laki mempertahankan kehormatannya, maka keris dianggap sebagai senjata pertahanan diri dan digunakan untuk menyerang musuh jika diperlukan. Kemajuan teknologi budaya manusia memungkinkan segala upaya manusia untuk mencitrakan dirinya. Tak terkecuali dengan produk yang kita gunakan saat ini. Benda-benda yang menempel di tubuh kita sebagai penutup seperti pakaian memiliki identitas merek dagang yang menunjukkan gaya hidup. Perlakuan terhadap media komunikasi seperti televisi terus menerus menyerang kita. Sebagai gadget dengan media online, televisi juga merambah ruang media android dalam format streaming. 
Iklan dibuat dalam cukup banyak varian baik elektronik maupun cetak. Iklan yang selalu hadir setiap saat ini memberikan keuntungan bagi kita untuk memilih yang terbaik. Jika kita tidak menyaring semua bujukan iklan, rumah kita akan dipenuhi dengan materi komersial yang kita sukai. Iklan yang memuat ikon budaya lokal seperti keris merupakan branding yang memungkinkan berkonotasi terbalik dengan maksud pencipta dan niat penerima. Citra visual keris banyak dimunculkan tidak hanya pada iklan televisi dan percetakan, tetapi juga pada logo dan simbol merek. 
Pada ikon televisi lokal juga ditampilkan gambar visual keris yang digunakan sebagai identitas stasiun televisi lokal. Jadi keris telah dihegemoni tidak hanya sebagai senjata tajam tradisional dalam budaya Jawa atau pakaian adat Jawa, tetapi juga digunakan sebagai atribut lain yaitu sebagai ikon dalam simbol atau merek. Keris seolah tak lekang oleh waktu-waktu sebagai produk budaya bangsa Indonesia di Nusantara. Cerita tentang mitos keris juga menjadi latar belakang naskah cerita budaya Jawa.